Senin, 03 Oktober 2011

PUTUSAN ARBITRASE DITINJAU DARI BENTUK, SIFAT, ISI SYARAT-SYARAT MATERIL DAN SYARAT-SYARAT FORMILNYA

I. Putusan Arbitrase Ditinjau dari Bentuknya

Dengan berpedoman pada bunyi ketentuan Undang-Undang No. 30 tahun 1999 sebagaimana telah dicantumkan, terutama pasal 32 ayat (1), pasal 44 ayat (2), pasal 45 ayat (1) dan pasal 60, dapatlah disimpulkan bahwa bentuk putusan arbitrase ada 4 (empat) macam:

Putusan Sela

Putusan Akhir

Putusan Perdamaian

Putusan Verstek.

Ad. 1. Putusan Sela

Putusan sela yang dimaksud disini sesuai dengan pengertian putusan sela dimaksud dalam pasal 185 HIR yang menentukan bahwa: (1) Keputusan yang bukan akhir, walaupun harus diucapkan dalam persidangan seperti halnya putusan akhir, tidak dibuat sendiri-sendiri, akan tetapi termasuk dalam berita acara persidangan.

Sesuai dengan bunyi UU No. 30 tahun 1999, putusan sela arbitrase, meliputi Provisi dan Putusan Insidentil.

Sedang yang dimaksud dengan putusan sela Provisi; tidak diatur dengan jelas dalam UU No. 30 tahun 1999. Dalam undang-undang tersebut hanya ada keterangan bahwa atas permohonan salah satu pihak, arbiter atau majelis arbiter dapat mengambil putusan provisionil atau putusan sela lainnya…………dstnya……….. .

Dalam HIR sendiri, tidak mengatur tentang provisi ini, sehingga apabila kita lihat dalam praktek di pengadilan, provisi itu sebagai suatu keputusan sela adalah suatu permohonan penuntut agar untuk sementara diadakan tindakan-tindakan pendahuluan oleh arbiter atau majelis arbitrase, terhadap sesuatu hal yang ada hubungannya dengan pokok perkara, yang berfaedah untuk menciptakan kemudahan dalam penyelesaian sengketa pokok sebelum putusan akhir.

Sebagai contoh adalah permohonan dari penuntut agar pembangunan sebuah bangunan dihentikan dulu sampai perkara pokok tentang sengketa kepemilikannya dapat diselesaikan dengan baik, dan tidak menambah permasalahan kelak pada saat putusan akhir dijatuhkan dan dilaksanakannya putusan tersebut.

Sedang putusan provisonil tersebut dijalankan lebih dahulu sebelum diputusnya sengketa mengenai pokok perkara dalam putusan akhir.

Putusan Sela sebagai putusan insidentil oleh UU No. 30 tahun 1999 hanya memberi penjelasan dalam pasal 30 yang berbunyi: 'Pihak ke tiga di luar perjanjian arbitrase dapat turut serta dan menggabungkan diri dalam proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase, apabila terdapat unsur kepentingan yang terkait dan keturutsertaannya disepakati oleh para pihak yang bersangkutan, serta disetujui oleh arbiter atau majelis arbitrase yang memeriksa sengketa yang bersangkutan.

Apabila ketentuan pasal 30 UU No.30 tahun 1999 tersebut dibandingkan dengan praktek di Pengadilan Negeri, terdapat hal-hal yang tidak pas bahkan rancu.

Sebagaimana diketahui, pihak ketiga yang di luar perjanjian arbitrase dimaksud, dapat menggabungkan diri dalam proses penyelesaian sengketa ada 3 macam:

Vrijwaring

Tussenkomst

Voeging

Dalam vrijwaring, pihak ketiga tersebut masuk atas permintaan termohon guna melindungi kepentingan pihak yang dituntut. Dalam Tussenkomst, masuknya pihak ketiga tersebut adalah untuk membela kepentingan dirinya sendiri, oleh itu sangat tipis kemungkinan kehadirannya dalam proses dapat disepakati oleh para pihak. Sedangkan dalam Voeging, masuknya pihak ketiga di sini adalah untuk membela kepentingan salah satu pihak, baik pemohon maupun pihak termohon, semata-mata atas kemauan sendiri pihak ketiga tersebut.

Oleh karena hal-hal sebagaimana telah dijelaskan tersebut, maka baik dalam vrijwaring maupun tussenkomst ataupun pada voeging, dapat dimengerti apabila kedua belah pihak, baik pemohon ataupun termohon sulit untuk dapat sepakat menerimanya dengan mudah.

Kesepakatan kedua belah pihak dalam pasal 30 UU No. 30 tahun 1999 merupakan persyaratan dalam menerima kehadiran pihak ketiga tersebut dalam proses penyelesaian sengketa, padahal persyaratan seperti itu tidak dianut dalam praktek di Pengadilan Negeri, sehingga dengan demikian dapat diprediksikan penerapan pasal 30 UU No. 30 tahun 1999 dalam praktek sulit untuk dilaksanakan dalam praktek.

Ad. 2. Putusan Akhir

Putusan akhir arbitrase dimaksud di sini adalah putusan akhir dari arbiter atau majelis arbitrase dimana setelah semua proses penyelesaian sengketa antara kedua belah pihak maupun dengan pihak lain dilakukan, di mana di antara para pihak tidak ada yang tidak pernah hadir dalam persidangan, telah menjatuhkan putusannya terutama yang mengenai pokok perkara, dan telah diucapkan dalam suatu persidangan yang terbuka untuk umum pada suatu hari tertentu dan tempat tertentu pula. Putusan mana telah ditandatangani oleh arbiter atau majelis arbitrase yang bersangkutan.

Yang perlu dijaga dalam putusan akhir ini adalah apakah putusan tersebut sudah memenuhi bunyi pasal 4 dan pasal 5 UU No. 30 tahun 1999 serta tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum.Yaitu apakah sudah ada klausula arbitrase, apakah klausula arbitrase tersebut telah dimuat dalam dokumen yang telah diterima oleh kedua belah pihak. Dan dalam hal pembuatan klausula arbitrase tersebut dibuat dalam bentuk pertukaran surat, maka pengiriman telegram, faximile, e-meil atau dalam bentuk sarana komunikasi lainnya, wajib disertai dengan suatu catatan penerimaan oleh para pihak. (pasal 4).

Di samping itu harus pula diperhatikan apakah sengketa yang ditangani tersebut apakah sengketa di bidang perdagangan dan apakah hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan, dikuasai sepenuhnya pihak-pihak yang bersengketa. Juga harus diperhatikan apakah sengketa tersebut adalah sengketa-sengketa yang tidak dapat diadakan perdamaian (pasal 5).

Sesuai bunyi pasal 26 ayat (3) apabila putusan arbitrase tidak memenuhi ketentuan pasal 4 dan pasal 5, Pengadilan Negeri dapat menolak dilaksanakannya putusan arbitrase dimaksud. Dan tidak terbuka upaya hukum apapun terhadap penolakan tersebut.

Ad. 3. Putusan Perdamaian

Putusan perdamaian adalah putusan arbiter atau majelis arbitrase, yang tida didasarkan kepada kemauan arbiter atau majelis arbitrase, akan tetapi berdasarkan kesepakatan bersama dari pihak pemohon dan termohon sebelum dijatuhkannya putusan akhir, perdamaian mana dapat tercapai atas prakarasa arbiter maupun majelis arbitrase, guna mengakhiri persengketaan antara pihak-pihak dan mengikat untuk para pihak, bersifat final dan mempunyai daya kekuatan eksekutorial.

Putusan perdamaian ini oleh karena sudah final dapat dianggap sebagai suatu putusan arbitrase yang telah berkekuatan hukum yang tetap, dapat dilaksanakan sebagaimana halnya suatu putusan akhir. Oleh karena putusan perdamaian ini juga tunduk pada ketentuan pasal 62 ayat (2) jo pasal 62 ayat (3) dan ayat (4), maka ketentuan pasal 4 dan pasal 5 harus diperhatikan di dalam putusan perdamaian ini.

Ad. 4. Putusan Verstek.

Putusan verstek adalah putusan arbiter maupun majeli arbitrase di luar hadirnya termohon yang dijatuhkan dalam persidangan, berhubungan termohon tetap tidak hadir paling lama 10 (sepuluh) hari setelah pemanggilan ke dua diterima oleh termohon, dimana tuntutan pemohon dikabulkan seluruhnya, kecuali jika arbiter maupun majelis arbitrase menilai tuntutan pemohon tidak bermasalah atau tidak berdasar hukum. Putusan mana bersifat final dan mempunyai daya kekuata eksekutorial.

Adapun putusan verstek dalam arbitrase berbeda sifatnya dengan putusan verstek menurut HIR di Pengadilan, oleh karena pada arbitrase, tidak terbuka kesempatan untuk verzet, sedang dalam hukum acara di pengadilan diberi kesempatan verzet (perlawanan). Dan apabila dikaitkan dengan pelaksanaan putusan oleh ketua Pengadilan, juga putusan ini tunduk pada ketentuan pasal 62 ayat (1),ayat (2) dan ayat (3)

II. Putusan Arbitrase Ditinjau dari Sifatnya

Walaupun dalam UU No. 30 tahun 1999, sama sekali tidak menjelaskannya, akan tetapi berhubung dalam Bab VI tentang "pelaksanaan putusan Arbitrase" pada pasal 64 ditegaskan bahwa : "Putusan arbitrase yang telah dibubuhi perintah Ketua Pengadilan Negeri , dilaksanakan sesuai ketentua pelaksanaan putusan dalam perkara perdata yang putusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap", maka dengan sendirinya kita akan sampai kepada berbagai putusan arbitrase, yang apabila ditinjau dari segi sifatnya, terdiri dari 3 macam, sebagai berikut:

putusan yang bersifat deklaratoir

Putusan yang bersifat konstitutif

Putusan yang bersifat condemnatoir

Putusan yang diktumnya bersifat deklaratoir, adalah diktum putusan yang bersifat menerangkan saja atau menegaskan saja tentang suatu keadaan hukum. Misalnya diktum yang berbunyi: "Si A adalah anak angkat yang sah dari si B". Putusan seperti ini, walaupun ditemukan dalam putusan arbitrase, tidak akan dapat dilaksanakan oleh Pengadilan Negeri.

Putusan yang diktumnya constitutif adalah putusan yang sifatnya meniadakan suatu keadaan hukum atau yang menimbulkan suatu keadaan hukum yang baru, misalnya diktum putusan yang mengatakan seorang pailit atau yang mengatakan seseorang itu telah melakukan wanprestasi. Diktum putusan seperti ini, walupun memang sah dan diperbolehkan adanya, akan tetapi termasuk juga kepada diktum putusan yang tidak dapat dilaksanakan oleh Pengadilan Negeri secara riil.

Putusan condemnatoir, adalah diktum putusan yang berisi penghukuman terhadap suatu pihak. Misalnya termohon dihukum untuk membayar hutang sejumlah tertentu kepada pemohon. Putusan seperti inilah yang dapat dilaksanakan oleh Pengadilan Negeri secara riil.

Oleh karena itu, penolakan eksekusi oleh Ketua Pengadilan tidak saja didasarkan kepada pasal 4 dan pasal 5 UU No. 30 tahun 1999, akan tetapi suatu putusan arbitrase yang diktum putusannya, seluruhnya hanya bersifat deklaratoir ataupun konstitutif, bisa juga menjadi alasan suatu putusan arbitrase tidak dapat dilaksanakan.
putusan arbitrase walaupun dikatakan bersifat putusan akhir dan mengikat belum tentulah memiliki kekuatan hukum eksekutorial, haruslah terlebih dahulu mendapat penetapan dari ketua pengadilan negeri. Sepanjang belum mendapat pen...etapan dari ketua pengadilan negeri, pihak yang kalah atau pihak merasa dirugikan karena putusan tersebut dapat melakukan upaya hukum.

Banyak orang belajar di fakultas hukum selama ini salah kaprah, termasuk didalamnya akademisi (dosen) maupun praktisi (profesional), yang mengartikan final and binding itu sesuatu yang sudah bisa di eksekusi.

Putusan Arbitase dapat dibatalkan oleh melalui upaya hukum kasasi dan menggugat melalui pengadilan negeri. Upaya hukum kasasi menurut UU No. 30 tahun 1999 itu memang dibenarkan. Nah, yang membuat adanya pro dan kontra dalam menginterprestasikan putusan arbiter sebagai putusan yang mempunyai kekuatan eksekutorial adalah dibatalkannya putusan arbitrase melalui pengadilan negeri. dengan membuat gugatan baru.

Seyogiyanya kalau kita dapat mencermati secara seksama ketentuan - ketentuan yang ada dalam UU No. 30 tahun 1999 disana tidaklah dikatakan bahwa putusan arbiter sudah mempunyai kekuatan hukum eksekutorial, kecuali sudah mendapat penetapan dari ketua pengadilan negeri, dan juga memang tidak ada larangan putusan arbiter dibawa kejalur peradilan umum. Hanya saja harus dipahami, bahwa putusan arbiter yang mungkin dibawa ke jalur peradilan umum hanyalah putusan yang bersifat bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum yang notabene kedua hal ini harus dapat dibuktikan. Jika, putusan tersebut tidak memenuhi syarat - syarat formil, maka dapat dilakukan upaya hukum kasasi.

sebagaimana kata seorang bijak "tidaklah ada seorangpun yang sempurna di dunia ini, hanya DIA-lah yang empunya Kesempurnaan". maka hal-hal yang tertulis di atas juga masih jauh dari sempurna dan mungkin saja semua rangkaian huruf - huruf tersebut tak ada yang dapat dibenarkan hanyalah penginterprestasian yang salah kaprah. untuk itu mohon untuk diklarifikasi oleh yang membaca.

SALAM
TERIMAKASIH !!!

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | Grocery Coupons