Senin, 03 Oktober 2011

“PENGHENTIAN PENUNTUTAN TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM PERKARA BIBIT - CHANDRA”


PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Pemilihan Judul
Proses peradilan pidana dijamin keberadaannya oleh Undang – Undang sebagaimana dapat kita lihat dalam Undang – Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau lebih kita kenal dengan nama Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan aturan – aturan tertentu yang diatur secara khusus untuk perbuatan tertentu pula, tetapi KUHAP lebih memiliki banyak peran sepanjang tidak ada aturan khusus di dalam Undang – Undang tersendiri. Dimana dalam KUHAP tersebut, penegak hukum dan pihak – pihak yang berkaitan dengan proses pemeriksaan perkara pidana dibatasi hak dan kewajibannya. Apabila hak dan kewajiban tersebut dilanggar dapat mengakibatkan proses pemeriksaan itu tidak sah dan tidak mengikat secara hukum.
Dalam perkara pidana yang melibatkan dua pimpinan KPK yaitu DR. Chandra Martha Hamzah, SH., MH. dan DR. Bibit Samad Riyanto, SH., MH. yang disangka telah melakukan tindak pidana korupsi yaitu:
a.      pasal 12 huruf e Undang – Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang – Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, dan;
b.      pasal 23 Undang – Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang – Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi jo. pasal 421 KUHP,
telah menimbulkan pro dan kontra dikalangan masyarakat juga para ahli – ahli hukum baik akademisi maupun praktisi. Ada yang berpendapat bahwa penetapan kedua pimpinan KPK tersebut sebagai tersangka adalah rekayasa dengan tujuan untuk melemahkan lembaga KPK, ada juga yang berpendapat bahwa kedua pimpinan lembaga KPK tersebut mungkin saja melakukan tindak pidana korupsi karena mengingat kedua pimpinan lembaga KPK tersebut adalah manusia biasa bukan malaikat, dan ada juga yang berpendapat bahwa kedua pimpinan KPK tersebut mungkin saja melakukan tindak pidana korupsi karena dahulunya sebelum menjadi pimpinan KPK, DR. Bibit Samad Riyanto, SH., MH.  adalah Purnawirawan POLRI dan DR. Chandra Martha Hamzah, SH., MH. seorang Advokat, jadi sah – sah saja kalau mereka tergoda akan materi mengingat gaji pimpinan KPK juga tidaklah terlalu besar. Serta mengingat juga belum adanya suatu aturan hukum acara yang khusus dalam pemeriksaan perkara korupsi yang pemeriksaannya (penyelidikan, penyidikan dan penuntutan) dilakukan penegakan hukum POLRI dan KEJAKSAAN, maka hukum acara yang berlaku adalah mengacu kepada KUHAP.
Karena konflik pro dan kontra pada masyarakat tersebut Presiden Republik Indonesia telah mengeluarkan sebuah kebijakan melalui keputusan Presiden yang membentuk sebuah lembaga sementara yang dikenal dengan nama tim pencari fakta (TPF). tim pencari fakta melaporkan hasil pekerjaannya dengan mengeluarkan sebuah rekomendasi kepada Presiden. Untuk menanggapi rekomendasi yang dikeluarkan oleh TPF, Presiden dalam sebuah pidatonya menyarankan agar perkara yang melibatkan kedua pimpinan KPK tersebut diselesaikan diluar pengadilan.
Mengingat kejaksaan adalah lembaga pemerintahan dibidang penuntutan yang dipimpin seorang Jaksa Agung, yang notabene Jaksa Agung adalah pejabat yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atau dengan kata lain Jaksa Agung adalah bawahan Presiden. Jaksa Agung telah memutuskan sebuah langkah atas himbauan Presiden dalam pidatonya tersebut dengan memerintahkan agar perkara yang melibatkan kedua pimpinan KPK tersebut dihentikan penuntutannya walaupun sudah P-21 atau sudah lengkap.
Memang dapat disadari secara wajar proses hukum yang demikian adalah hal yang jarang kita lihat. Dimana telah menimbulkan polemik yang begitu besar dikalangan pemerhati hukum dan pemerhati pemberantasan korupsi. Sehingga penulis merasa tertarik untuk membahas secara singkat proses hukum tersebut, khusus masalah SKPP. Dan untuk menjaga ketidak-berpihakan penulis dalam membuat tulisan ini, maka penulis tidak memandang subyek yang berpekara tetapi obyek perkara SKPP tersebut.

B.     Pokok Permasalahan
Penerbitan SKKP Bibit – Chandra telah ditempuh oleh kejaksaan dalam  rangka melaksanakan fungsi organ institusi itu. Proses hukum tersebut, sebagaimana dijelaskan diatas telah menimbulkan polemik yang begitu besar dan menimbulkan berbagai masalah hukum yang menyangkut rasa keadilan dan penegakan hukum. Untuk itu, penulis akan memaparkan beberapa pokok permasalahan yang menurut hemat penulis merupakan pokok – pokok permasalahan yang perlu dibahas dan dituliskan penulis.
Adapun pokok permasalahannya adalah sebagai berikut:
1.      Apa yang menjadi alasan suatu peristiwa pidana dapat dihentikan penuntutannya?
2.      Apa yang dimaksud dengan tindak pidana korupsi?
3.      Mengapa penerbitan SKPP Bibit – Chandra tersebut menimbulkan polemik di masyarakat?

C.     Tujuan Penulisan
Guna memberikan kemudahan untuk memahami dan untuk mendapatkan sebuah tujuan yang optimal dan obyektif, maka penulis membuat apa yang menjadi tujuan dari penulisan ini.
Adapun tujuan dari penulisan ini adalah:
1.      Untuk membahas dan menjelaskan syarat – syarat suatu perkara pidana dapat dihentikan penuntutannya.
2.      Untuk mendapatkan pemahaman tentang tindak pidana korupsi dan kegunaan lembaga penegak hukum KPK dibentuk.
3.      Untuk membahas alasan – alasan yang menyebabkan penerbitan penghentian penuntutan perkara Bibit – Chandra tersebut menimbulkan polemik atau krotroversial dimasyarakat.


PENGHENTIAN PENUNTUTAN
A.    Dasar Hukum Penghentian Penuntutan
Dalam peraturan perundang – undangan yang berlaku di Indonesia, secara umum tentang hukum acara pidana diatur di dalam Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana atau lebih kita kenal dengan sebutan Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Selain KUHAP, Hukum acara dalam peradilan pidana tertentu (khusus) diatur juga secara khusus dalam Undang – Undang tersendiri. Dan apabila sudah ada aturan yang mengatur secara khusus tentang acara – acara pidana tertentu maka aturan yang juga mengatur hal yang sama dalam KUHAP dapat dikesampingkan (lex spesialis de rogat lex generalis).
Sebagimana telah diatur dalam pasal 13, pasal 14 huruf h, pasal 140 ayat (2) huruf a KUHAP yang pada intinya menyatakan bahwa penuntut umum adalah jaksa yang mempunyai wewenang untuk melakukan penuntutan dan menutup perkara demi hukum atau menutup perkara karena tidak terdapat cukup bukti atau menutup perkara karena peristiwa tersebut ternyata bukan tindak pidana dengan memuatnya dalam sebuah surat ketetapan.
Pasal 13 KUHAP: “Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang – undang ini melakukan penuntutan dan melakukan penetapan hakim”.
Pasal 14 huruf h KUHAP: “Penuntut umum mempunyai wewenang: h. menutup perkara demi kepentingan hukum”.
Pasal 140 ayat (2) huruf a KUHAP: “Dalam hal penuntut umum memutuskan untuk menghentikan penuntutan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau perkara ditutup demi hukum menuangkan hal tersebut dalam surat ketetapan”.
Dengan demikian dapat kita garis bawahi bahwa jaksa penuntut umum adalah satu – satunya penegak hukum yang dapat melakukan penuntutan dan menghentikan penuntutan. Tetapi kita jangan sampai terjebak oleh kata “jaksa”, karena seorang jaksa belum tentu penuntut umum, tetapi penuntut umum sudah pasti seorang jaksa. Oleh karena itu, jaksa yang dimaksud disini adalah jaksa yang memiliki kewenangan untuk melakukan penuntutan.

B.     Syarat – Syarat Untuk Dapat Dilakukan Penghentian Penuntutan
Sebagaimana telah disebutkan diatas, bahwa yang berwenang melakukan penghentian penuntutan adalah jaksa penuntut umum (JPU). Oleh karena kewenangan yang diberikan itu sangatlah rentan dari penyalahgunaan fungsi baik penuntutan maupun penghentian penuntutan tersebut, maka di dalam KUHAP itu sendiri dibatasi secara limitatif bagaimana suatu peristiwa yang diduga tindak pidana dapat dituntut kemuka pengadilan dan dapat dihentikan penuntutannya. Dalam tulisan ini sebagaimana tertuang dalam judulnya, maka penulis akan fokus terhadap penghentian penuntutannya saja. Dalam penghentian penuntutan haruslah terlebih dahulu memperhatikan hal – hal tertentu, apakah penghentian penuntutan sebuah perkara telah sesuai dan memenuhi syarat – syarat sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang – undangan yang berlaku.
Jika memperhatikan ketentuan pasal di dalam KUHAP, maka batasan – batasan atau alasan suatu perkara dapat dihentikan penuntutannya tertuang dalam pasal  140 ayat (2) huruf a KUHAP yang menyatakan : “a. dalam hal penuntut umum memutuskan untuk menghentikan penuntutan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau perkara ditutup demi hukum, penuntut umum menuangkan hal tersebut dengan surat ketetapan”. Dari bunyi pasal tersebut, dapat kita lihat bahwa penuntut umum dapat mengeluarkan sebuah ketetapan penghentian penuntutan dengan sebuah surat ketetapan penghentian penuntutan (SKPP) dengan alasan – alasan sebagai berikut :
                                i.            Tidak terdapat cukup bukti; atau
                             ii.            Peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana; atau
                           iii.            Perkara ditutup demi hukum.
Dari ketiga alasan di atas sebagaimana disebutkan dalam pasal 140 ayat (2) huruf a tersebut dapat kita lihat bahwa antara alasan yang satu dengan alasan yang lain dipisahkan dengan kata “atau” yang artinya bahwa penghentian penuntutan itu tidaklah mutlak harus memenuhi ketiga unsur alasan di atas, melainkan merupakan suatu pilihan ataupun cukup membuktikan salah satu alasan itu sudah cukup alasan menghentikan suatu penuntutan. Untuk dapat membuktikan salah satu alasan dalam penghentian penuntutan, maka kita harus memahami dulu defenisi dari alasan – alasan yang dapat dikemukakan tersebut.
1.      Tidak terdapat cukup bukti, artinya bahwa dalam suatu perkara, penuntut umum belum memiliki keyakinan bahwa perkara yang akan dia tuntut telah memiliki kekuatan pembuktian yang cukup, sehingga apabila perkara diajukan ke pengadilan, diduga keras terdakwa akan dibebaskan oleh hakim, atas alasan dakwaan yang didakwakan tidak terbukti. Maka untuk menghindari putusan pembebasan yang demikian, akan lebih bijaksana jika penuntut umum menghentikan penuntutannya. Hal dimana penuntut umum telah memiliki keyakinan atau belum memiliki keyakinan bahwa perkara tersebut telah memiliki pembuktian yang cukup dapat kita lihat dari apakah penuntut umum tersebut telah menyatakan berkas perkaranya tersebut telah lengkap (P-21) atau belum lengkap atau masih melakukan proses prapenuntutan (P-19) dan berkas perkara itu dikembalikan kepada penyidik untuk dilengkapi dengan memuat petunjuk – petunjuk.
2.      Peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana, artinya bahwa apa dituduhkan penyidik kepada tersangka bukan merupakan tindak pidana kejahatan atau pelanggaran, apabila penuntut umum berkesimpulan demikian, maka lebih baik menghentikan penuntutannya, sebab apabila dakwaan yang demikian tetap diajukan ke muka persidangan, maka pada prinsipnya hakim akan melepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum (ontslag van allerechtvervolging). Yang dimaksud bukan merupakan tindak pidana kejahatan atau pelanggaran disini, misalnya adalah seseorang yang melakukan pembunuhan karena hal tersebut (membunuh) tidak dapat dihindarkan oleh terdakwa atau dengan kata lain dalam keadaan terpaksa (overmacht). Contoh lainnya adalah seorang pejabat negara melakukan suatu perbuatan dalam rangka menjalankan fungsi jabatannya, akan tetapi perbuatan yang demikian belum ada diatur sama sekali di dalam aturan perundang – undangan, maka perbuatan yang demikian dapat dibenarkan sepanjang untuk kepentingan bangsa dan negara.
3.      Perkara ditutup demi hukum, artinya disini adalah bahwa tindak pidana yang didakwa kepada terdakwa oleh hukum sendiri telah dibebaskan dari tuntutan dan oleh hukum harus ditutup atau dihentikan pemeriksaannya pada semua tingkat pemeriksaan. Bahwa alasan hukum yang menyebabkan suatu perkara ditutup demi hukum adalah atas dasar:
a.      Pasal 77 KUHP, karena tersangka/terdakwa meninggal dunia. Bahwa sesuai dengan asas hukum pidana yang dianut bahwa suatu perbuatan tindak pidana hanya dapat dipertanggung jawabkan oleh orang yang melakukannya sendiri, dan pertanggungjawaban itu tidak dapat dipindahkan kepada keluarga atau ahli waris terdakwa.
b.      Pasal 76 KUHP, atau sering kita kenal dengan alasan nebis in idem,  yaitu penegak hukum tidak boleh menghukum atau menuntut seseorang 2 (dua) kali atas tindak pidana atau pelanggaran yang sama.
c.      Pasal 78 – 80 KUHP, yaitu suatu perkara yang hendak dituntut oleh penuntut umum ternyata telah kadaluarsa.
Oleh karena Undang – Undang telah mengatur secara jelas bagaimana suatu perkara dapat dihentikan penuntutannya, maka sesuai asas hukum “demi kepastian hukum”, maka penuntut umum tidaklah diperkanankan untuk menghentikan suatu penuntutan perkara pidana di luar alasan – alasan sebagaimana telah dijelaskan di atas. Dimana hal tersebut merupakan salah satu cara untuk mencegah perilaku penegak hukum dalam hal ini penuntut umum menyalahgunakan wewenang dalam jabatannya.

TINDAK PIDANA KORUPSI
            Pada hakekatnya tindak pidana korupsi (TIPIKOR) dipandang sebagai salah satu kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crime) karena sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara sehingga menghambat pembangunan nasional. Oleh karena itu, TIPIKOR harus diberantas dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Republik Indonesia pertama sekali mengatur tentang TIPIKOR dalam Undang – Undang adalah pada tahun 1971, dengan diberlakukannya Undang – Undang Nomor 3 tahun 1971 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.
            Dalam perkembangannya, seiring berkembangnya kemajuan – kemajuan dalam segala hal baik ekonomi, teknologi maupun tatanan hukum di Indonesia, maka UU No. 3 tahun 1971 tersebut dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan  kebutuhan hukum dalam masyarakat maupun kebutuhan bangsa dan negara. Oleh sebab itu, pada tahun 1999 UU No. 3 tahun 1971 dinyatakan tidak berlaku lagi dan digantikan kedudukannya dengan Undang – Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.
            Dalam perjalannya UU No. 31 tahun 1999 telah dirubah sebanyak 1 (satu) kali, hal ini disebabkan karena dorongan untuk lebih menjamin kepastian hukum, menghindari keragaman penafsiran hukum dan memberikan perlindungan terhadap hak – hak sosial dan ekonomi masyarakat serta perlakuan secara adil dalam memberantas tindak pidana korupsi. Perubahan tersebut dilakukan dengan mengesahkan Undang – Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas Undang – Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.
            Adanya aturan perundang – undangan yang baru tentang pemberantasan tindak pidana korupsi dianggap sudah sesuai dengan kebutuhan masyarakat, bangsa dan negara karena merupakan salah satu produk hukum pada masa awal – awal reformasi bangsa Indonesia. Akan tetapi kemudian timbul masalah baru, yaitu ketidak-percayaan publik terhadap aparat penegak hukum POLRI dan KEJAKSAAN. Dan belum optimal, efektif dan efisiennya penegak hukum dalam melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi, maka dibentuklah sebuah lembaga yang baru khusus menangani perkara tindak pidana korupsi yaitu Komisi Pemberantas Korupsi (KPK). Pembentukan KPK diatur di dalam Undang – Undang Nomor 30 Tahun 2002.
            Dalam hukum acara pemeriksaan tindak pidana korupsi, pada hakekatnya sama dengan yang diatur dalam KUHAP. Hanya saja ada beberapa perbedaan yaitu dalam hal pembuktian dan yang menjadi batasan kewenangan antara penyidik dan penuntut umum pada KPK dengan penyidik pada kepolisian dan penuntut umum pada kejaksaan.
a.      Dalam KUHAP, sebagaimana dijelaskan pada pasal 184 ayat (1) huruf d jo. Pasal 188 ayat (2) tentang alat bukti petunjuk, dibatasi secara limitatif hanya pada petunjuk yang diperoleh dari keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa. Sedangkan dalam pasal 26A UU No. 20 tahun 2001 tentang perubahan UU No. 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi dijelaskan bahwa alat bukti petunjuk tidak terbatas hanya pada keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa tetapi diperoleh juga dari data informasi yang disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu serta dokumen, rekaman dan masih banyak lagi.
b.      Dalam UU No. 30 tahun 2002 tentang komisi pemberantasan tindak pidana korupsi, pada pasal 40, KPK diberi batasan kewenangan yaitu tidak diperkenankan/diberi wewenang untuk mengeluarkan surat ketetapan penghentian penyidikan dan penuntutan atau dengan kata lain perkara yang diduga tindak pidana korupsi dan telah dilakukan penyidikan atau telah ada tersangkanya haruslah diteruskan ke pengadilan untuk diperiksa dan diadili. Beda halnya dengan penyidik pada kepolisian dan penuntut umum pada kejaksaan yang diberi wewenang oleh KUHAP untuk menghentikan penyidikan dan penuntutan.
Oleh karena itu, sebagaimana penjelasan di atas dapat kita pahami bahwa KPK dibentuk atas dasar adanya suatu tindak pidana yang dianggap kejahatan yang sangat luar biasa. Dan mendapatkan tugas dan tanggungjawab moral yang sangat besar dari negara. Dimana hukum acaranya sebagian juga diatur secara khusus oleh pembentuk UU.
PENGHENTIAN PENUNTUTAN PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM PERKARA BIBIT – CHANDRA
A.    Kasus Posisi Bibit – Chandra
Kasus yang melibatkan dua nama pimpinan KPK atau yang lebih kita kenal dengan sebutan “Kasus Bibit – Chandra” bermula dari adanya Laporan Polisi pada bulan juli 2008 atas nama pelapor ANTASARI AZHAR, S.H., M.H. tentang dugaan tindak pidana penyalahgunaan wewenang berkaitan dengan adanya pelarangan bepergian ke luar negeri atas nama ANGGORO WIDJOJO. Dalam perkembangannya atas Laporan Polisi dengan pelapor ANTASARI AZHAR tersebut telah mengakibatkan ditetapkannya CHANDRA MARTHA HAMZAH dan BIBIT SAMAD RIYANTO menjadi tersangka oleh Bareskrim Mabes Polri, dengan sangkaan telah diduga melanggar pasal 12 huruf e Undang – Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang – Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi dan pasal 23 Undang – Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang – Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi jo. Pasal 421 KUHP, yang pada intinya menyebutkan pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang untuk memberikan sesuatu kepada dirinya atau orang lain secara melawan hukum.
Penuntut umum pada kejaksaan negeri selatan kemudian telah menyatakan P-21 atau berkas sudah lengkap atas hasil penyidikan Bareskrim Mabes Polri tersebut. Sepanjang pemeriksaan tersangka CHANDRA MARTHA HAMZAH dan tersangka BIBIT SAMAD RIYANTO sampai dinyatakannya berkas perkara kedua pimpinan KPK tersebut lengkap oleh Kejaksaan Agung pada Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan telah menimbulkan PRO dan KONTRA (POLEMIK) di kalangan masyarakat dan pemerhati hukum serta aktivis pemberantasan korupsi. Bahwa sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya pada pendahuluan, atas polemic yang terjadi dimasyarakat Presiden R.I. telah membentuk tim independen verifikasi dan proses hukum atas kasus Bibit – Chandra atau kita kenal dengan nama TPF. Setelah TPF selesai mengerjakan pekerjaannya, TPF membuatkan sebuah kesimpulan dalam bentuk rekomendasi yang diserahkan kepada Presiden R.I. yang pada intinya menyebutkan “… meminta Presiden R.I. untuk menghentikan proses hukum Bibit – Chandra…”. Atas rekomendasi tersebut, Presiden R.I. pada siaran pers-nya telah menganjurkan kepada Kejaksaan R.I. untuk tidak membawa kasus ini ke pengadilan, dengan tetap mempertimbangkan asas keadilan.
Oleh karena adanya himbauan dari Presiden R.I. tersebut, kemudian Kejaksaan R.I. telah mengambil sikap untuk tidak meneruskan perkara tersebut ke pengadilan dengan mengeluarkan surat ketetapan penghentian penuntutan (SKPP), dengan harapan mengurangi polemik yang ada di masyarakat. Akan tetapi, ternyata SKPP tersebut tidak memuaskan semua pihak tetapi hanya sekelompok masyarakat saja. Dimana kemudian SKPP tersebut digugat oleh beberapa LSM dan yang terakhir menggugat adalah Anggodo Widjojo melalui kuasa hukumnya supaya SKPP itu dibatalkan karena tidak sesuai dengan aturan perundang – undangan yang berlaku.
B.     Alasan  Penuntut Umum Menghentikan Penuntutan Perkara Bibit – Chandra
Kejaksaan R.I. telah mengambil sikap untuk menghentikan penuntutan perkara Bibit – Chandra dengan mengeluarkan SKPP. Sebagaimana kita ketahui dan sudah dijelaskan di atas, untuk dapat menghentikan penuntutan haruslah memenuhi salah satu syarat sebagaimana diatur dalam pasal 140 ayat (2) KUHAP. Adapun yang menjadi alasan dari Kejaksaan untuk menghentikan penuntutan perkara tersebut adalah ditutup demi hukum. Untuk memperkuat alasannya tersebut yaitu ditutup demi hukum, penuntut umum memberikan pertimbangan sebagai berikut :
Alasan Yuridis : bahwa perbuatan tersangka tersebut meskipun telah memenuhi rumusan delik yang disangkakan, baik pasal 12 huruf e UU No. 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi maupun pasal 23 UU No. 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi jo. Pasal 421 KUHP, namun karena dipandang tersangka tidak menyadari dampak yang akan timbul atas perbuatannya, maka perbuatan tersebut dianggap hal yang wajar dalam rangka menjalankan tugas dan wewenangnya, mengingat hal tersebut sudah dilakukan oleh para pendahulunya, oleh karena itu baginya dapat diterapkan ketentuan pasal 50 KUHP.
Alasan sosiologis : adanya suasana kebhatinan yang berkembang di masyarakat yang menganggap lebih banyak mudharat dari pada manfaatnya, untuk menjaga keterpaduan/harmonisasi antara lembaga penegak hukum (KPK, POLRI, KEJAKSAAN) dan masyarakat memandang perbuatan yang dilakukan oleh tersangka tidak layak untuk dipertanggungjawabkan oleh tersangka.
Maka dari hal diatas, bahwa penghentian penuntutan kasus Bibit – Chandra yang sesuai dengan KUHAP adalah ditutup demi hukum.

C.     Analisis Alasan  Penuntut Umum Menghentikan Penuntutan Perkara Bibit – Chandra Yang menyebabkan terjadinya polemik di dalam masyarakat
Untuk menganalisa alasan apa yang dipakai penuntut umum mengeluarkan surat ketetapan penghentian penuntutan kasus Bibit – Chandra, sehingga menimbulkan pro dan kontra dikalangan masyarakat akan kita bagi menjadi dua alasan, yaitu alasan yuridis dan alasan sosiologis.
Alasan yuridis yang diterapkan penuntut umum adalah “perkara ditutup demi hukum” atau “set aside”. Sebagaimana telah dijelaskan diatas, perkara ditutup demi hukum adalah atas dasar sebagaimana telah diatur dalam pasal 76 – 80 KUHP, nebis in idem, tersangka/terdakwa meninggal dunia dan kadaluarsa. Jika kita menghubungkan dasar hukum yang bisa dipakai untuk menghentikan penuntutan “ditutup demi hukum” tersebut dengan kasus Bibit – Chandra, maka kita akan menemukan fakta yang bukan rahasia lagi sebagai berikut :
a.      Nebis in idem, menegaskan bahwa penegak hukum tidak boleh menuntut dan menghukum seseorang 2 (dua) kali atas tindak pidana kejahatan atau pelanggaran yang sama. Dalam kasus Bibit – Chandra, mereka disangkakan telah melanggar ketentuan sebagaimana diatur dalam pasal 12 huruf e UU No. 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi maupun pasal 23 UU No. 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi jo. Pasal 421 KUHP.
Yang menjadi pertanyaannya ialah apakah Bibit – Chandra sebelumnya pernah dituntut atau dihukum telah melanggar ketentuan yang sama dengan yang disangkakan saat itu? Maka jawabannya adalah sangat tidak mungkin Bibit – Chandra bisa menjadi Pimpinan KPK periode 2007-2011 apabila sebelumnya mereka pernah dituntut melakukan perbuatan tindak pidana korupsi, karena hal itu tidak sesuai dengan syarat untuk dapat menjadi pimpinan KPK, akuntabel, integritas yang tinggi dan tidak pernah terkait masalah pidana terlebih itu tindak pidana korupsi, dan kenyataannya memang mereka belum pernah dituntut terkait masalah tindak pidana korupsi sebagaimana disangkakan di atas.
Oleh karena itu, seyogiyanya alasan atas dasar nebis in idem tidak dapat diterapkan.
b.      Tersangka/terdakwa meninggal dunia, Bahwa sesuai dengan asas hukum pidana yang dianut bahwa suatu perbuatan tindak pidana hanya dapat dipertanggung jawabkan oleh orang yang melakukannya sendiri, dan pertanggungjawaban itu tidak dapat dipindahkan kepada keluarga atau ahli waris terdakwa, maka atas dasar itu perkara harus ditutup demi hukum.
Dalam hal kasus Bibit – Chandra, seluruh Indonesia mengetahui bahwa CHANDRA MARTHA HAMZAH dan BIBIT SAMAD RIYANTO masih hidup. Oleh karena itu, sesungguhnya alasan atas dasar tersangka/terdakwa telah meninggal dunia dalam kasus Bibit – Chandra tidak dapat diterapkan.
c.      Kadaluarsa, artinya bahwa pada saat perbuatan pidana tersebut dilakukan oleh tersangka, telah lewat masa waktu untuk menuntutnya ke muka pengadilan. Perkara Bibit – Chandra yang disangkakan telah melanggar ketentuan sebagaimana diatur dalam pasal 12 huruf e UU No. 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi maupun pasal 23 UU No. 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi jo. Pasal 421 KUHP, ancaman hukumannya adalah 6 (enam) tahun perjara dan disertai denda. Kita kaitkan dengan kadaluarsa, sebagaimana diatur dalam pasal 79 ayat (1) angka 3 menyebutkan “kewenangan menuntut pidana hapus karena lewat waktu : 3. Mengenai pidana yang diancam pidana penjara lebih dari 3 (tiga) tahun, sesudah 12 (dua belas) tahun”.
Oleh karena ancaman pidana yang disangkakan kepada tersangka Bibit – Chandra lebih dari tiga tahun, maka kasus tersebut baru dapat dikatakan kadaluarsa setelah 12 (dua belas) tahun sejak perbuatan itu dilakukan. Dalam beberapa kali konfernsi pers Kepolisian R.I. maupun Kejaksaan R.I., dapat kita ketahui bahwa perbuatan yang disangkakan kepada Bibit – Chandra adalah bermula sekitar tahun 2008 sd. 2009. Oleh sebab itu, maka alasan atas dasar kadaluarsa adalah tidak tepat secara yuridis.
Dari ketiga dasar yang dapat diterapkan untuk menghentikan penuntutan perkara Bibit – Chandra ditutup demi hukum, maka dapat dengan jelas kita lihat bahwa tidak ada satupun dasar yang dapat dibenarkan secara yuridis untuk dipakai sebagai alasan perkara tersebut ditutup demi hukum. Maka hal yang sangat wajar, jika kemudian alasan penghentian penuntutan perkara Bibit – Chandra ditutup demi hukum menimbulkan reaksi yang begitu besar dikalangan ahli – ahli atau pakar hukum pidana.
Selain alasan yuridis, penuntut umum juga mengemukakan alasan sosiologis untuk menghentikan penuntutan kasus BIBIT – CHANDRA sebagaimana telah disebutkan sebelumnya di atas. Oleh karena itu, kita harus dapat memahami dalam hal untuk apa alasan sosiologis dapat diterapkan oleh penegak hukum dan siapa penegak hukum yang dapat memberikan alasan sosiologis.
Untuk dapat memahaminya, maka kita akan mengulang kembali atas dasar apa penuntut umum dapat mengeluarkan surat ketetapan penghentian penuntutan suatu perkara? Sebagaimana telah dibahas sebelumnya, bahwa dasar hukum untuk dapat menghentikan penuntutan diatur didalam pasal 140 ayat (2) huruf a. KUHAP. Dimana dalam pasal tersebut, penuntut umum dibatasi hanya pada 3 (tiga) kemungkinan saja untuk dapat menghentikan penuntutan, yaitu : tidak terdapat cukup bukti, peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana dan perkara ditutup demi hukum.
Ketentuan sebagaimana diatur pada pasal 140 ayat (2) huruf a. memberikan batasan bahwa hanya alasan yuridis yang dapat diterapkan untuk menghentikan penuntutan, tetapi kemudian oleh pasal 140 ayat (2) itu tidak dilarang secara tegas bahwa menggunakan alasan lain (dalam hal ini alasan sosiologis) untuk menghentikan penuntutan sebuah perkara diperbolehkan atau tidak.
Akan tetapi, jika kita menelaah dari aturan perundang – undangan yang berlaku, maka kita akan dapat memahami penggunaan alasan sosiologis yang dibenarkan oleh hukum. Hal ini dapat kita lihat di penjelasan pasal 77 KUHAP, pasal 35 huruf c UU No. 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan R.I., penjelasan pasal 35 huruf c UU No. 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan R.I. dan pasal 32 huruf e UU No. 5 tahun 1991, yang pada intinya menyebutkan bahwa “penghentian penuntutan tidak termasuk penyampingan perkara demi kepentingan umum (DEPONEERING) yang menjadi wewenang Jaksa Agung dalam rangka pelaksanaan asas oportunitas yang hanya dapat dilakukan oleh Jaksa Agung dengan pertimbangan alasan sosiologis.
Maka dari itu dapat kita cermati bahwa penuntut umum tidaklah diperkenankan untuk menggunakan alasan sosiologis dalam penghentian penuntutan melainkan hanya sebatas pada alasan yuridis semata. Karena penggunaan alasan sosiologis hanya dikenal di dalam penyampingan perkara demi kepentingan umum (DEPONEERING), yang hanya menjadi wewenang dari seorang Jaksa Agung.
Oleh sebab itulah, disaat penuntut umum mengeluarkan surat ketetapan penghentian penuntutan kasus Bibit – Chandra dengan alasan yuridis ditutup demi hukum dan alasan sosiologis, tidak dapat diterima oleh ahli – ahli dan pakar hukum pidana sehingga menyebabkan terjadinya pro dan kontra di kalangan masyarakat luas.


PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari uraian – uraian yang telah dijelaskan di atas, maka penulis akan memberikan pendapatnya sebagai kesimpulan dalam tulisan ini. Adapun yang menjadi kesimpulan menurut hemat penulis adalah sebagai berikut :
1.      Jaksa penuntut umum berwenang untuk melakukan penuntutan dan penghentian penuntutan suatu perkara;
2.      Ada tiga alasan yang dapat dikemukakan oleh penuntut umum untuk menghentikan suatu perkara yang sifatnya adalah alternatif sebagaimana diatur dalam pasal 140 ayat (2) huruf a, yaitu :tidak terdapat cukup bukti, peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana, perkara ditutup demi hukum;
3.      Bahwa alasan hukum yang menyebabkan suatu perkara ditutup demi hukum adalah atas dasar : pasal 77 KUHP (karena tersangka/terdakwa meninggal dunia), pasal 76 KUHP (nebis in idem), pasal 78 – 80 KUHP (kadaluarsa);
4.      Undang – Undang mengatur secara jelas bahwa penuntut umum tidak diperkanankan untuk menghentikan suatu penuntutan perkara pidana di luar alasan – alasan sebagaimana diatur dalam pasal 140 ayat (2) huruf a KUHAP;
5.      Pada hakekatnya tindak pidana korupsi (TIPIKOR) adalah salah satu kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crime) karena sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara yang menghambat pembangunan nasional;
6.      Alat bukti petunjuk dalam UU No. 20 tahun 2001 tentang perubahan UU No. 31 tahun 1999 tidak terbatas hanya pada keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa tetapi diperoleh juga dari data informasi yang disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu serta dokumen, rekaman dan lain –lain;
7.      KPK tidak berwenang untuk menghentikan penyidikan dan penuntutan perkara tindak pidana korupsi haruslah diteruskan ke pengadilan untuk diperiksa dan diadili. Sedangkan penyidik pada kepolisian dan penuntut umum pada kejaksaan yang diberi wewenang oleh KUHAP untuk menghentikan penyidikan dan penuntutan;
8.      Ketidakjelasan alasan yang digunakan oleh penuntut umum dalam menghentikan kasus Bibit – Chandra adalah pemicu polemik yang timbul pasca penerbitan SKPP Bibit – Chandra.
B.     Saran
Untuk membuat tulisan ini menjadi bermanfaat kelak dikemudian hari, maka penulis akan memberikan beberapa saran terkait dengan penghentian penuntutan. Adapun saran – saran dari penulis adalah sebagai berikut :
1.      Untuk memaksimalkan pemberantasan TIPIKOR, sudah seharusnya penyidik pada kepolisian dan penuntut umum pada kejaksaan dibatasi juga kewenangannya sebagaimana penyidik dan penuntut umum pada KPK. Hal ini berguna juga untuk memberikan suatu kepastian agar penyidik pada kepolisian dan penuntut umum pada kejaksaan lebih berhati – hati dan lebih serius dalam menangani perkara TIPIKOR, karena jika suatu saat kelak mereka salah dalam menangani perkara yang demikian, tidak bisa dihentikan begitu saja dan secara otomatis pula karir mereka akan terhambat;
2.      Akan lebih bermanfaat jika seandainya kasus Bibit – Chandra diteruskan ke pengadilan untuk diuji, karena dari fakta persidangan nantinya kita akan mengetahui apakah kasus ini benar – benar direkayasa atau tidak. Jika direkayasa, publik akan mengetahui siapa – siapa saja oknum pada kepolisian dan oknum pada kejaksaan yang merekayasa kasus tersebut, dan sudah barang tentu mereka bisa diproses secara hukum, tetapi pada kenyataannya saat ini kita tidak pernah tahu siapa saja oknum – oknum penegak hukum yang merekayasa kasus itu. Jika kasus tersebut ternyata bukan rekayasa, alangkah malunya negri ini Komisi Pemberantasan Korupsi-nya dipimpin oleh KORUPTOR;
3.      Untuk mencegah terjadinya kejadian yang sama dikemudian hari, sebaiknya legislative dan eksekutif selaku pembuat UU segera merevisi ketentuan dalam KUHAP dan UU Kejaksaan terkait alat bukti dan pembatasan kewenangan untuk tidak dapat menghentikan penyidikan maupun penuntutan perkara TIPIKOR oleh penegak hukum pada lembaga/institusi manapun.
DAFTAR PUSTAKA
Putusan nomor : 14/Pid.Prap/2010/PN.JKT.Sel
Andi Hamzah. KUHAP. Cetakan kelima belas. Edisi revisi. 2008. Jakarta. Penerbit rineka cipta
----------------. Himpunan peraturan perundang – undangan pemberantasan tindak pidana korupsi. Edisi lengkap. 2005. Bandung. Penerbit fokus media
Wirjono prodjodikoro. Tindak – tindak pidana tertentu di Indonesia. Cetakan pertama. Edisi ketiga. 2003. Bandung. Penerbit refika aditama
M. Yahya Harahap. Pembahasan dan penerapan pembahasan KUHAP. Edisi kedua. Cetakan kelima. 2003. Jakarta. Penerbit Sinar Grafika

2 komentar:

Anonim mengatakan...

good

Anonim mengatakan...

maaf anda mendapatkan putusan pra peradilan dari mana ya? saya ada tugas menganalisis kasus ini. terima kasih, mohon bantuannya :)

Posting Komentar

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | Grocery Coupons